“Mencerdaskan kehidupan bangsa”
itulah tujuan pendidikan nasional sekaligus tujuan kebangsaan sebagaimana
termaktub dalam pembukaan UUD Tahun 1945. Salah satu program dan aktifitas
untuk mensuksesan tujuan ini adalah program pendidikan tinggi atau universitas
(kampus). Kampus adalah miniature Indonesia (baca
: pak JK). Kampus adalah ruang industry pemikiran, sekaligus tempat paling
teruji untuk mengukur kompetensi politik (Anis
Matta). Jika dipersepsikan kearah
aktifitas-aktifitas berorietasi kekuasaan
maka kampus bukanlah wilayah yang steeril dari politik.
Pengkajian
tentang perpolitikan di lingkungan kampus setidaknya ada tiga konteks kajian :
mahasiswa, pimpinan kampus dan interaksi civitas akademik ke luar kampus.
Politik dikalangan mahasiswa terkait dengan perebutan pengaruh antar elemen
mahasiswa untuk jabatan-jabatan dalam organisasi intrakampus dan organisasi
ekstrakampus. Selain itu politik kemahasiswaan juga terkait dengan interaksi
kebijakan public didalam maupun diluar kampus. Misalkan unjuk rasa mahasiswa
memprotes aturan rector, dekan atau kebijakan kampus seperti kebijakan dekan
kehutanan unhas tentang pelarangan mahasiwa berambut gondrong masuk kuliah,
merupakan aktualisasi politik kemahasiswaan (atas kebijakan internal) kampus.
Unjuk rasa mahasiwa menolak pemerintah menaikkan harga BBM adalah contoh
aktualisasi kemahasiswaan di ranah public.(kutip
:www.sipil-institut.com)
Demokrasi Ala Pimpinan Kampus
Kampus
adalah miniature Indonesia. Kampus adalah industry pemikiran, sekaligus ruang
untuk menguji kompetensi politik. Betulkah demokrasi Indonesia hari ini adalah
representative politik ala kampus?? Sejatinya kearifan demokrasi berkembang dan
dipraktekkan dengan standarisasi dan parameter yang jelas. Pesta demokrasi
Indonesia sudah meletakkan dasar bahwa seyogianya pemimpin adalah mereka yang
mampu memenangkan standarisasi dan parameter yang telah ditetapkan oleh angka-angka
undang-undang. Kondisi yang tampak sangat
berbeda dengan demokrasi ala kampus. Dasar hukum demokrasi ala kampus
(pemilihan dekan) permendiknas no. 67 tahun 2008 hanya mengurai metodologi.
Sementara urgensi, parameter dan standarisasi demokrasi ala kampus sangat tidak
jelas.
Praktek
demokrasi kampus harus mampu mengakomodir kepentingan seluruh elemen institusi
kampus dan masyarakat umum. Tak bisa dipungkiri bahwa kampus adalah institusi
pelayanan publik bukan perusahaan yang mengejar privat. Pemilihan pimpinan
kampus (Rektor dan Dekan) tak harus dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu saja.
Prinsip substansial demokrasi harus ditegakkan dan itu bisa dipraktekkan mulai
dari di lingkungan kampus. Prosedur pemilihan pimpinan kampus harus segera
meletakkan standar dan parameter secara jelas.
Apakah
tataran demokrasi kampus harus mengikuti pola dan praktek demokrasi partai
politik seperti yang dipraktekkan pada pilkada? Pada tataran praktis, kita
semua sepakat bahwa kita tidak pernah sepakat dengan pola dan tatacara yang
dilakukan oleh para peserta pilkada seperti: mengumpulkan massa, dangdutan,
membentuk tim sukses, survey elektabilitas dan popularitas, karnaval, bagi-bagi
sembako, saling serang dan sebagainya. Tetapi pada tataran substansial
prisnip-prinsip demokrasi harus tetap dijaga, bahwa penentuan pemimpin harus
dengan parameter dan standar yang jelas, transparan, akuntabel dan terutama
mahasiswa harus memiliki akses terhadap seluruh proses yang berlangsung. Peran
mahasiswa dalam pemilihan rector maupun dekan harus diberikan ruang
seluas-luasnya. Ini sangat penting agar demokrasi kampus menjadi teladan bagi
pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan menghindari dikotomi pelaksanaan system
otokrasi dengan kekuasaan oligarki, yang terbukti sangat manipulative.
Pelaksanaan demokrasi kampus seperti hari ini tampak mengindikasikan
manipulative demokrasi bahkan boleh jadi lebih manipulative daripada demokrasi
partai politik.
Indikasinya
mudah terlihat sejumlah pertanyaan-pertanyaan krusial seperti dikutip dari
laman www.jikti.or.id
tidak mampu dijawab oleh system yang sedang dikembangkan demokrasi kampus saat
ini seperti,misalnya : apakah semua proses berlangsung transparan? Apakah
seluruh civitas akademika memiliki akses infomasi terhadap seluruh proses yang
berlangsung?apakah proses penjaringan bakal calon dan calon dekan di level
jurusan dan fakultas turut di jadikan bahan pertimbangan dalam penetapan
dekan?bagaimana proses pengambilan keputusan jika terjadi kontradiksi penilaian
antara tim internal dan tim eksternal dalam menilai figure calon?apakah calon
yang kalah dapat memahami dengan jelas factor yang membuatnya kalah?dan yang
lebih penting adalah apakah mahasiswa memiliki peran dalam pemilihan rector
atau dekan? Ketidakjelasan parameter dan standar menjadi penyebab utama mengapa
pertanyaan tersebut tidak bisa di jawab. Maka tidak perlu heran jika muncul
argumentasi bahwa penetapan pimpinan kampus dilakukan dengan asas “suka-suka gue” bukan asas demokrasi.
Tidak
bisa dimunafikkan bahwa orientasi demokrasi kampus adalah kekuasaan. Faktor
kedekatan personal, like dan dis-like, alasan kebutuhan dukungan (terkait
dengan pemilihan rector berikutnya) boleh jadi menjadi bahan pertimbangan
penetapan dekan, dan tentu saja ini sangat jauh bertentangan dengan nilai
perjuangan dan tujuan pendidikan nasional.
Feodalisme Demokrasi Kampus
Menjelang
pemilihan dekan dapat dipastikan, selalu terjadi polemic tentang figure
terpilih dengan alas an-alasan subyektif. Aturan-aturan normative menyangkut
tatacara pemilihan dekan yang memicu kontroversi dengan pembatasan ketat
disana-sini. Klaim pemilihan dekan yang konon katanya demokratis justru tak
sesuai dengan bahan ajar yang mereka suarakan kepada peserta didik. Peran aktif
mahasiswa baik secara langsung maupun tidak langsung tidak pernah diakui. Mahasiswa
tak lebih daripada kelompok kecil dalam kampus yang hanya disibukkan dengan
kegiatan belajar.
Apabila
kita menoleh kebelakang, sisa-sisa warisan feodalisme orde baru masih sangat
kuat. Kebijakan NKK/BKK (normalisasi keadaan kampus) berlangsung cukup lama di
perguruan tinggi. Budaya politik kampus yang terbentuk masih mendewakan umur
sebagai penentu pengambil kebijakan. Sementara yang muda dianggap kurang
berpengalaman secara intelektual. Beginilah dilematis yang terus menerus
menghasilkan regenerasi puritanisme-feodalistis. Tidak adanya kekuatan sosial
akademis yang mampu mempertanyakan ataupun membongkarnya. Bila ada, sanksi
akademis selalu jadi ancaman. Sementara komunikasi politik kampus berjalan
tidak seimbang. Semuanya berjalan sendiri-sendiri terpatok antara dua
stratifikasi social : umur, intelektual dan empirisme dan seterusnya.
Meminjam istilah Iwan Fals, “bongkar kebiasaan lama” harus ada
terobosan baru dalam mekanisme demokrasi kampus. Segala bentuk feodalisme
demokrasi dilingkungan kampus harus segera di akhiri. Demokrasi kampus harus
membuka krannya, sudah saatnya aturan normative proses demokratisasi perguruan
tinggi direkstrukturasi kembali dengan menghilangkan budaya politik tradisional
yang bercorak feodalistis.
Idealisme Demokrasi Kampus
Kampus
adalah milik semua kalangan tanpa terkecuali sebab masing-masing saling
berhubungan dan bertautan secara diametris. Segala aktifitas kampus termasuk
aktifitas politik internal kampus seperti pemilihan dekan idealnya harus
melibatkan semua kalangan termasuk mahasiswa. Pembatasan mahasiswa dalam
pemilihan dekan merupakan kontradiktif. Apalagi pemabatasan ini didasarkan pada
alasan feodalisme. Tugas mahasiswa adalah menuntut ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan bukanlah rumus matematika yang bersifat statis tetapi ilmu
pengetahuan bersifat dinamis. Konteks ilmu pengetahuan hari ini akan berbeda
dengan konteks pengetahuan besok sesuai dengan perkembangannya. Dalam bidang
kehutanan misalnya, fungsi hutan yang dulunya hanya sebagai penghasil kayu atau
rotan sekarang fungsi hutan begitu penting mengingat perkembangan industri yang
begitu pesat. Fungsi hutan dialihkan sebagai sebagai paru-paru dunia untuk
mengimbangi polusi udara.
Seyogianya
pemilihan dekan di setiap kampus di Indonesia termasuk di Universitas
Hasanuddin menata kembali aturan normative mengenai pembatasan keterlibatan
mahasiswa dalam pemilihan pimpinan kampus. Pendidikan politik adalah ilmu
pengetahuan untuk semua kalangan termasuk mahasiswa. Pendidikan politik tak
cukup hanya sekedar teori dibangku kuliah tetapi pendidikan politik harus
melibatkan diri dalam panggung politik sebenarnya. Dan panggung itu adalah
pemilihan rector, dekan dan jajarannya.
Menyambut
pemilihan dekan fakultas kehutanan universitas hasanuddin, perlu dilakukan terobosan
baru sebagai langkah untuk mengimbangi dinamisasi ilmu pengetahuan. Pemilihan
dekan bukanlah kompetisi untuk mencari sang pemenang. Mari kita jadikan
pemilihan dekan sebagai forum keluarga civitas akademika fakultas kehutanan
Universitas Hasanuddin dengan melibatkan semua pihak tanpa terkecuali. Tanggung
jawab serta cita-cita civitas akademika fakultas kehutanan unhas bukanlah milik
seorang dekan semata, tetapi tanggung jawab dan cita-ita itu adalah milik kita
semua. Semoga perubahan itu dimulai dari sini, menguktip kalimat filsuf
Prancis, Alainde Benoist, “norma
tertinggi demokrasi bukan “jangkauan kebebasan” atau jangkauan kesamaan”,
tetapi ukuran tertinggi partisipasi”
EmoticonEmoticon