Akhir-akhir
ini, pesona bumi panrita lopi menarik perhatian para pelaku industry perfileman.
Setelah merilis film “pamali makan ikan pari” kini kembali
Trans TV merilis film bertajuk budaya local masyarakat Bulukumba. Setelah puas
dengan pesona pantai Tanjung Bira, kini mereka menyentuh kawasan adat Kajang.
Lewat film “Liontin Tanah Terlarang”, Ryana Dhea memceritakan keangkeran
tanah kajang sebagai tempat bersarangnya para parakang. Beragama pro kontra pun
bermunculan ditengah penayangan film ini, Komunitas Adat Kajang langsung
merespon dengan menolak kehadiran film ini karena dianggap melecehkan budaya
kajang sebagai tempat bersarangnya para parakang. Selain itu, kontoversi lain
dalam film ini adalah pembudayaan hari valentine yang sama sekali tidak dikenal
dalam budaya masyarakat Kajang.
Namun
ditengah kritikan terhadap film ini, adapula yang mendukung dengan dalih
hiburan dan mengangkat budaya Bulukumba. Berdasarkan hasil kajian KKMB-UNHAS, kritikan itu pantas di
apresiasi mengingat dapat memberikan citra kurang baik terhadap tanah toa.
Apalagi alur cerita yang kebanyakan mengangkat keberadaan parakang di daerah
ini. Meski hanya bergenre fiksi tetapi ini dapat mempengaruhi keaslian budaya
masyarakat tanah toa.
Hal
lain yang patut di kritisi adalah keberhasilan produksi film di daerah ini,
tentu kita patut curiga bahwa efek globalisasi mulai merambah ke daerah adat.
Kita harus mampu membentengi budaya kearifan kita dari berbagai pengaruh
global. Ini sangat penting untuk tetap menjaga kemurnian dan kehidupan budaya local
kita. Kita punya kekayaan budaya yang hidup dan kita harus jeli menjaga kebudayaan
kita agar tidak terkikis oleh segmentasi teknologi informasi.
Liontin tanah terlarang, bukan budaya kami tetapi budaya masyarakat
barat.
EmoticonEmoticon