-->

Dibalik 1998 : Panggung Pergantian Dinasti bukan Reformasi



Sejak bergulirnya ordo reformasi 1998, Politik Indonesia diharapkan mengalami restorasi system secara mendasar. Kehadiran reformasi sebagai metamorphosis orde baru sungguh menjadi harapan besar bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan geo-politik, geo-ekonomi, dan geo-teknologi. Sejak serangan ekonomi 1998, Indonesia begitu terpuruk, ketahanan ekonomi ambruadul dan jebol oleh kuatnya tekanan inflasi. Tata-politik berhalunisasi otoriter, dan panggung hiburan rakyat menjadi panggung penderitaan dan pertumpahan darah. Sistem mengalami kelumpuhan, kemarahan rakyat pun tak dapat dielakkan.
Politik Dinasi ala orde baru belum usai, mesti hari ini pesta demokrasi telah menemukan kembali ruhnya tetapi secara otonomi kerakyatan belum sepenuhnya menemukan filosopi dasar dari demokrasi itu sendiri. Strategi demokrasi memang telah menemukan jalanya tetapi benalu politik ala orde baru masih banyak menghantui perjalanan demokrasi ditengah perjalanannya. Media yang telah menemukan kembali kekuatan legitimasinya tak sepenunhya menjalankan fungsinya sebagai “penyambung lidah rakyat”. Media malah menjadi tools panggung komedi ala para penitip kekuasaan. Tak pelak, Media malah menjelma menjadi panggung empuk para rezim untuk memuluskan langkahnya merebut kekuasaanya. Pembangunan opini media menjelma menjadi fakta perpolitikan Indonesia hari ini. Siapa pemilik panggung media dialah pemilik kekuasaan. Media menjadi tolak ukur kekuatan para tokoh untuk mendekarasikan diri sebagai calon pemimpin. Dan media pulalah yang menjadi boomerang bagi mereka.
Skenario panggung media tampaknya menjadi satu-satunya sarana politik paling ampuh hari ini. Media seakan-akan memproklamirkan diri sebagai kekuatan suara rakyat. Kondisi ini tentunya akan baik jikalau panggung media mampu menampilkan panggung suara rakyat, tetapi akan sangat buruk jikalau media memainkan panggungnya untuk kepentingan segelintir elit. Fakta telah kita lihat sendiri, pembangunan opini media justru menampilkan opini pro-kontra antar berbagai media. Opini media A  justru bertolak belakang dengan opini media B. Akhirnya saling serang opini antar media pun meledak. Terus siapa pemilik suara rakyat itu ditengah kondisi perpolitikan Indonesia hari ini?
Tampakya masih ada sisa rezim orde baru yang harus dilumpuhkan dari perpolitikan Indonesia hari ini. Masih ada kekuatan Dinasti yang terus mencoba berbagai cara untuk mengembalikan kekuatan geo-politik Indonesia ke era otoriter. Cita-cita reformasi masih sangat jauh dari harapan. Peralihan kekuasaan orde baru ke reformasi tampaknya hanya scenario politik para mafia di negeri ini. Tak ada reformasi, yang ada hanyalah peralihan kelompok dinasti. Apa artinya kebebasan demokrasi tetapi kemiskinan dan pengangguran masih berkicau di pelosok nusantara ini? Apa artinya reformasi kalau kekayaan nusantara masih bukan milik para petani, nelayan dan rakyat Indonesia? Apa artinya kedaulatan rakyat kalau kesejahteraan dan pemerataan ekonomi masih milik para pemilik modal dan penguasa? Apa artinya pendidikan di Indonesia kalau para lulusan terbaik justru tak terpakai di negerinya sendiri? Inikah proyek dibalik 1998, proyek pergantian dinasti mengatasnamakan suara rakyat dengan tema “REFORMASI”. 




EmoticonEmoticon